While Others Not


Hidup yang menuntut untuk serba cepat, serba kuat, serba tegar, terkadang membuat saya lupa untuk sesekali menghela napas, berhenti sejenak, atau bahkan menangis untuk sekadar meringankan beban yang terasa menggelayuti sekujur badan.

Terlebih lagi sejak menjadi seorang ibu, saya merasa semua serba dituntut untuk cepat beradaptasi. Apalagi dengan situasi sosial yang kerapkali membandingkan satu anak dengan yang lainnya, seakan hidup adalah kompetisi yang terus-menerus berlangsung. Hingga terkadang saya lupa, tak semua manusia seragam. Ada kurang dan lebihnya masing-masing.

Di bulan kedua saat kontrol bayi lalu dokter menduga suspect tertentu, rasanya jantung tak henti-hentinya dipacu, otak terus-menerus disambangi kegelisahan dan kekhawatiran. Setiap kali melihat tumbuh kembang bayi lainnya yang begitu sempurna, desir iri dan minder terus saja menyambangi hati.

“Kenapa ya dedek ga bisa gitu? Kenapa ya buat kayak yang lain aja susah banget? Kenapa ga bisa kayak yang lain?”

Sampai akhirnya scroll di instagram berhenti pada reels yang sungguh menguatkan hati.

Praying and crying at night saying God “why me?”
God whispered back, “why not you?”
I didn’t sentence you to pain. I trusted you with it.
I didn’t sentence you to trail, I trusted you with trial.
Because i knew that even through tears you wouldn’t deny my name.
Even through your pain you wouldn’t stop worshiping .

Emang susah ya ternyata kalo memaksakan sudut pandang dari yang ‘biasa’ dan ‘normal’ menurut kebanyakan orang. Padahal kondisi tiap orang beda-beda, tapi karena rata-rata kebanyakan orang A, seakan pattern hidup adalah A. Padahal bisa aja B, C, D dst.

Kenapa saya?
Mungkin karena saya masih bisa berdiri megangin bayi secimit udah dicolok-colok swab, sedangkan orangtua lain belum tentu bisa setega itu.
Mungkin karena saya masih bisa duduk chill menemani bayi laparoskopi, di saat orangtua lain belum tentu bisa setega itu.
Mungkin karena saya yang masih bisa tekun googling menelusuri jurnal medis, terpapar beragam foto organ dalam yang sungguh triggering, dan menganalisa kemungkinan-kemungkinan agak ‘horor’ lainnya di saat orangtua lain mungkin belum tentu melakukan yang sama.

Mungkin juga karena saya didukung oleh support sistem yang memungkinkan untuk WFH sembari bolak-balik RS yang sungguh menyita waktu, atasan yang pengertian, keluarga yang selalu mau anter-anter, dan keleluasaan literasi yang memungkinkan saya menerima informasi medis baru yang seringkali njelimet dan butuh pemahaman ekstra. While others not.

Lalu saya teringat para pengunjung di poli RS yang saya kunjungi. Anak-anak yang menangis tanpa suara lalu hanya bunyi dengus napasnya melalui selang yang terdengar. Anak-anak yang pipisnya melalui kantong, yang menyusu lewat selang dan tabung menggantung layaknya infus, yang masih harus didekap lebih erat saat popoknya diganti, yang berlarian ke sana-sini namun berkomunikasi melalui bahasa isyarat, yang harus biopsi demi pencernaanya bisa lewat anus lagi, dan kondisi-kondisi lainnya yang seharusnya menjadi kiblat bagi saya untuk memandang betapa hidup hari ini begitu layak untuk dirayakan dan disyukuri, bahkan sesekali ditangisi supaya ringan bebannya sehingga bisa lebih tabah menjalani esok hari.

Mungkin sebaiknya saya berhenti memandang bahwa hidup ini adalah kompetisi.

Karena apa yang ada di saya, mungkin tak ada pada orang lain. Begitupun sebaliknya.

3 responses to “While Others Not”

  1. Banyak orang yang hidupnya jauh lebih susah. Bersyukurlah dan tersenyumlah,kadang hidup ini terasa berat seperti menginjak kerikil yang tajam. Itu semua supaya kita menjadi lebih kuat.

    1. Jujur sebenernya saya pribadi kurang suka kalau bersyukur sambil ngebandingin ke yang hidupnya lebih susah. Kerasa jahat aja gitu.
      Saya lebih suka kontemplasi, “..dia bisa setegar itu, saya harusnya nyontoh itu..”

      Ehehe just my opinion kak.

      Iyaa setuju, kadang setelah kesulitan, kita jadi lebih kuat dan lebih tinggi daya juangnya.

  2. betul mbak, karena apa yg ada di mbak tidak ada pada orang lain dan sebaliknya. tiap orang perjalanannya beda-beda ya … thanks for this beautiful reminder 🙂

Leave a comment