Rindu yang Kian Rumit


2017 yang hina-dina telah berlalu, sekarang muncul tahun yang baru dengan beragam kesempatan baru.

Saya jarang menuliskan pendapat pribadi di sini, biasanya di akun tumblr. Tapi karena baru saja mengganti tema layout yang sejauh ini sih saya suka, maka saya ingin ‘memerawani’ dengan jalan mempublikasikan tulisan baru di sini.

2018 datang dengan penawaran-penawaran untuk hal-hal baru, ataupun hal-hal lama yang sudah lama saya tinggalkan dan kini ada kesempatan untuk mengulangnya kembali : naik gunung.

Saya membayangkan rindu yang meletup-letup untuk kembali menghirup udara bersih, mengotori baju dengan tanah dan lumut, beberapa hari tidak mandi, serta memasak dengan bahan seadanya di depan tenda. Betapa saya merindu dengan langit bersih dan cericit burung di hutan pagi. Kelebatan itu perlahan berganti dengan ribetnya mengurus trip, cari pasukan, atau sekadar mengumpulkan kembali peralatan nanjak yang sudah lama saya lapakkan dan sekarang saya harus mengumpulkan kembali dari awal.

Betapa saya merasa.. mengapa persoalan ngetrip kini menjadi rumit dan ribet?

Kalau dulu saya antusias mengumpulkan daftar gunung yang ingin dikunjungi, semangat mencari catper, cari barengan di medsos, tabah belanja logistik dan menjejalkannya dengan rapi di keril, dan rela tidur di emperan masjid ataupun stasiun, sekarang membayangkannya saja saya sudah malas.

Saya rindu, tapi malas repot. Bagaimanalah ini?

Kalau dulu saya semangat membawa bawaan solois : tenda, alat masak, logistik, perbekalan air di satu keril 60an liter, sekarang kepala saya sibuk merancang bagaimana mencari gears ultralight agar tubuh yang kian jarang berlatih ini tak payah-payah amat saat melahap tanjakan tanah beraliran akar pohon melintang.

Kalau dulu saya semangat cari barengan di medsos, kenalan dengan orang yang samasekali asing, mencari pasukan sebanyak-banyaknya, kini saya kian malas mengajak orang terlalu banyak. Saya kian malas dengan drama-drama tim besar yang nantinya menguras energi selama di pendakian. Saya kini mendambakan pendakian yang akrab dengan teman-teman terdekat, menghabiskan waktu berjam-jam di tenda dengan bercanda atau bergosip tentang banyak hal hingga rahang pegal.

Kalau dulu dengan uang seadanya sudah bisa memberangkatkan saya ke Bandung ataupun Garut, sekarang otak saya sibuk berhitung bagaimana budget transport yang sekarang mahal mampu ditekan supaya masih bisa belanja logistik yang mewah demi makan yang enak-enak di gunung. Awal-awal pendakian, saya masih terima makan sarden, nugget dan mie rebus. Sekarang dengan pengalaman tubuh yang kian renta, rasanya minimal masak capcay deh biar tenaga terisi kembali dengan gizi makanan yang bagus.

Karena saya sudah menghabiskan 3 paragraf berawal kata pengandaian ‘kalau dulu’ ‘kalau dulu’ maka baiknya saya menyudahi tulisan ini dengan perenungan mendalam kapan saya akan menyudahi kerinduan yang rumit dan penuh hitung-hitungan ini.

Rindu kok perhitungan sih Len?

1146706_10200473384337185_1954790629_n

4 responses to “Rindu yang Kian Rumit”

  1. umur gak boong yak, gak kuat ngangkat keril segede gaban kaya dulu lagi. sekarang maunya nyaman

    1. ahahah iyaa, kayaknya faktor umur juga. sekarang maunya serba gampang & nyaman

  2. whua… galaunya senpay senior pendaki kayak gini ya……. so cool…

    1. (((senpai))) aih ku berasa kayak mas-mas jepun, hahaha
      iyanih, kangen ngegunung tapi males rempongnya

Leave a reply to nezhafath Cancel reply