PLKJ Series : Kepingan Masa Lalu di Museum Nasional


Awalnya saya menganggap kegiatan berkunjung ke tempat-tempat wisata di Jakarta hanyalah bentuk penyaluran hasrat saya dalam ngebolang dan melepas penat setelah sehari-hari berkutat dengan pekerjaan. Namun akhirnya saya sadar, setiap hal yang saya lakukan di hari ini adalah bentuk kelanjutan dari hal-hal kecil yang saya impikan di masa lalu.

Dulu saat bersekolah, saya hanya bisa menatap gambar-gambar bangunan bersejarah dan penting yang tercantum dalam pelajaran muatan lokal PLKJ ( Pendidikan Lingkungan  Kehidupan Jakarta ) yang wajib dipelajari dalam tingkat pendidikan SD dan setaranya. Maka di sinilah saya, merekam ingatan menjejak di bangunan-bangunan tersebut sambil menginsyafi bahwa dulu hal yang hanya mampu saya lihat dari buku, dengan perjalanan waktu mampu terwujud, sesederhana apapun itu, tetaplah menjadi jejak terbesar dan amat berarti dalam perjalanan hidup saya.

Jakarta, 23 Juni 2013

Jakarta masih menampakkan sisa-sisa perayaan ulangtahunnya kala itu. Karena saat hari jadinya saya masih disekap kegiatan akademik, masa untuk menebus rasa gregetan ingin ngebolang, maka dengan jumawa saya mengirim pesan singkat ke Erlisa, menanyakan kesediaannya untuk menemani saya untuk memupuk rasa cinta pada kota tempat kelahiran saya ini. Berhubung Erlisa tak ada agenda, maka berangkatlah kami menuju bangunan paling terkenal seantero Jakarta : Monas!

monas2
gagah menjulang
monas
sisa pesta kemarin
pedagang monas
menunggu

Dengan uang senilai Rp 3.500, sampailah kami di halte busway Monumen Nasional aka. Monas. Awal perjalanan kami hanya iseng ingin melihat-lihat keadaan Monas pasca perayaan ulangtahun kota Jakarta hari kemarin. Banyak sampah bergeletakan di halaman Monas, tanda pertambahan usia sang ibukota tak diiringi dengan matangnya rasa cinta para penduduk terhadap kebersihan dan keindahan kotanya sendiri. Karena hari masih panas, maka kami memutuskan untuk sejenak ngaso di sekitaran taman sambil mengunyah tahu gejrot yang dijual abang-abang. Berdayakan usaha kecil dan mikro, yosh \m/

monas3
tiang lampu dan monas tingginya sama 😮

Puas makan dan capek keliling halaman Monas yang lebarnya ambreng-ambrengan ( bahasamu ituloh len -_-  ) kami selanjutnya melangkahkan kaki ke Perpustakaan Nasional yang letaknya tak jauh dari komplek Monas. Setelah ngadem-ngadem dan menunggu Erlisa membuat kartu anggota, benak saya tecetus untuk selanjutnya melangkahkan kaki ke Museum Nasional atau panggilan kecenya Museum Gajah, karena seingat saya bangunan tersebut tercantum dalam pelajaran PLKJ semasa SD dahulu.

???????????????????????????????

Awalnya kami bingung di mana letaknya karena yang saya ingat hanyalah Museum Nasional letaknya di sekitaran Monas, sedangkan Monas itu sendiri kalau dikelilingi sambil jalan lumayan bikin betis tambah kece. Setelah mendapat lirikan maut dari bapak-bapak bersenjata karena kami hampir masuk ke area Istana Presiden, akhirnya Allah menunjukkan jalan yang benar menuju Museum Nasional. sujud syukur

Dan inilah dia wujud bangunan yang dari dulu hanya bisa saya lihat di halaman-halaman buku pelajaran PLKJ, ada patung gajahnya! Sebagai solidaritas sesama makhluk gembul, saya memutuskan untuk berfoto dengan sang gajah entah kapan gilirannya untuk duduk.

museum gajah
gajah yang tak pernah duduk

Tiket masuk ke museum ternyata murah rah rah, Rp 5.000 saja. Setelah menitipkan tas, kami masuk ke bangunan yang di kemudian hari saya tahu disebut gedung lama. Di dalam bangunan ada semacam taman yang halamannya ‘bertabur’ beraneka patung, arca dan berbagai peninggalan zaman prasejarah lainnya.yap, saya sebut bertabur karena peletakkannya secara acak di halaman berumput. Karena kami tak menyewa guide, maka kami hanya melihat-lihat tanpa tahu cerita bersejarah di balik ‘taburan’ benda bersejarah tersebut.

tiket masuk museum gajah
cuma goceng 😀

???????????????????????????????

Lanjut melangkah, kami memasuki ruangan yang berisikan berbagai miniatur rumah adat, berlembar-lembar kain tradisional, bermacam-macam alat kesenian dan peninggalan benda perlengkapan hidup sehari-hari. Museum tak terlalu ramai kala itu, terlihat beberapa gerombol siswa SMP yang kelihatannya sedang mengadakan study tour dan beberapa wisatawan asing yang sungguh membuat saya iri karena tingkat kekepo-an mereka terhadap sadar museum, sehingga rela menyewa jasa guide dan bahkan anggota keluarganya yang masih bayi pun diajak menggunakan kereta bayi.

Selanjutnya kami memasuki ruangan tertutup yang berisikan berbagai jenis perhiasan dan arca-arca yang terbuat dari emas. Ada satu patung kecil yang lumayan membuat envy para joms karena patung tersebut terdiri dari sepasang patung yang sedang berpegangan tangan. patung aja gandengan masa kamu engga kemudian nangis di pojokan museum pfft -_-Namun sayang sekali demi menjaga keamanan, pengunjung tak diperbolehkan memotret benda-benda di ruangan ini.

Ruangan selanjutnya yang kami masuki sering disebut gedung baru. Awal-awal memasuki bangunan ini mata saya tertuju dengan 3 buah set patung manusia purba yang terpajang di ruangan. Sejenak benak saya tertuju pada scene di film Night at The Museum. Ah suatu hari nanti museum-museum di Indonesia bisa sekece itu kok 😉 Lanjut menaiki eskalator menuju lantai 2, kami memasuki ruangan yang bertemakan iptek. Di ruangan ini kami seakan dibawa untuk melihat perkembangan peradaban manusia. Mulai dari sepeda beroda 3, alat tukar sederhana seperti kepingan emas dan logam, berbagai piranti berburu seperti bubungan dan tombak, hingga berbagai jenis teleskop yang digunakan dalam perahu layar.

manusia purba
Erlisa pengen ikutan arisan 😛
sepeda roda tiga
sepedaku roda tigaa

Puas berkeliling dan bertanya-tanya dalam hati apa sejarah di balik benda-benda tersebut ( nasib ga pake guide -_- ) kami lanjut melangkah menuju lantai 3&4. Di sini terdapat berbagai jenis keramik dan perhiasan, namun sayang sama seperti peraturan di gedung lama, di sini kembali tidak diperbolehkan memotret. Kami pun kembali terpukau melihat begitu beraneka ragamnya perhiasan yang dimiliki Indonesia. Mulai dari mahkota berbagai rupa yang terbuat dari emas, mahkota yang berbentuk burung dan terbuat dari badan burung asli, hingga gelang-gelang super kece yang terbuat dari berbagai macam manik dan cangkang kerang. Pada akhirnya kami menyadari, berkunjung ke museum tak cukup sekali karena masih banyak benda bersejarah yang menunggu untuk dipelajari dan pada kunjungan berikutnya sebaiknya menggunakan jasa pemandu/guide agar tak hanya bisa tersenyum kecut saat tak tahu peristiwa bersejarah di balik suatu benda. Satu hal yang ternyata terwujud, akan saya muat di postingan selanjutnya 😉

Adzan ashar menandakan lumayan lama kami berkeliling. Sadar di daerah pusat kota begini agak susah menemukan musolah atau masjid, kami memberanikan diri menumpang salat di musolah gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, karena letaknya bersisian dan hanya kubah musolah di gedung itulah yang terlihat paling dekat dari museum.  Ah untunglah bapak satpamnya baik, dengan ramah beliau mempersilakan kami untuk menumpang salat di sana 🙂

Sebelum pulang, kami memutuskan untuk sejenak mencicip bakso di sekitaran komplek Monas. Sambil menikmati kuah pedasnya, saya melihat-lihat situasi pinggir jalan. Banyaknya pejalan kaki masih kurang mendapat haknya sebagai pengguna jalan. Meski sudah terdapat lampu lalu lintas dan tanda menyeberang, tak sedikit pengendara kendaraan pribadi yang nekat menerobos meski lampu sudah menunjukkan waktunya pejalan kaki berkesempatan menyeberang jalan. Sore itu, pahamlah saya bahwa cinta saya belum seberapa terhadap kota ini, masih dangkal pengetahuan saya tentang seluk-beluk Jakarta dan bangunan-bangunan penting yang dulu tercantum dalam buku pelajaran PLKJ saya. Dan karena bentuk paling konkrit dari perasaan cinta adalah perhatian dan kepedulian, maka dengan inilah ikhtiar saya mencoba mengenal untuk kemudian peduli pada kota yang telah begitu ramahnya menyediakan tempat bagi saya untuk tinggal dan hidup selama ini.

Museum Nasional Republik Indonesia atau Museum Gajah
Jalan Medan Merdeka Barat No.12, Gambir, Jakarta Pusat 10110, Indonesia
+62 21 3868172

www.museumnasional.or.id

7 responses to “PLKJ Series : Kepingan Masa Lalu di Museum Nasional”

  1. jalan-jalannya seru 😀

  2. saya sudah ke sana! saya sudah ke sana!! *bangga banget hahahaa >_<
    tapi sama Leni-nya belum l3

    1. hehe, ayolah. lain kesempatan kita ngebolang bareng yak 😀

      1. iyaa… =D semoga kesampaian leni =D

  3. akbarmangindara Avatar
    akbarmangindara

    sy baru 2 kali ke jakarta dan belum pernah sekalipun ke monas.. hehehe.. next time dehhh

    1. kunjungan ke jakarta selanjutnya sempatkan ke monas berarti 😀

  4. […] tibalah kami di halaman tengah museum yang selalu saya namakan : ditaburi patung dan batu. […]

Leave a reply to jampang Cancel reply